Terminal baru bara baru yang akan dibangun di Sungai Semoi. Foto: Stanislav Lhota
Beragam permasalahan mendera Teluk Balikpapan, Kalimantan Timur,
dari pembalakan kayu ilegal, penebangan mangrove, pabrik CPO di muara
sungai sampai limbah pertambangan batu bara, menambah beban berat bagi
lingkungan. Keragaman hayati kawasan inipun terancam.
Di Teluk Balikpapan, tepatnya, Sungai Tempadung Tawar, seakan menjadi ‘surga’
illegal logging (pembalakan kayu ilegal). Aungan
chainsaw sudah
bisa terdengar dari jauh jika memasuki kawasan ini. Kasus ini sudah
dilaporkan ke pemerintah setempat, tetapi belum ada tindakan.
“Inilah lokasi kemp
illegal logging yang sangat terkenal.
Lokasi ini telah beberapa kali dilaporkan kepada Pemkot Balikpapan
tetapi kegiatan itu belum dapat dihentikan,” kata
Stanislav Lhota,
dalam surat elektronik kepada media, awal Januari 2013. Stan, begitu
dia biasa panggilan, adalah ilmuwan dari Departemen Zoologi, Universitas
South Bohemia Republik Chechnya, dan menjadi peneliti bekantan di
Balikpapan, sejak 2005.
Dia mengatakan, untuk melewati Sungai Tempadung Tawar, harus menunggu
air pasang. Lokasi penjarahan tidak mudah diakses karena sungai ini
cukup panjang, tidak terlalu lebar dan berkelok-kelok.
Saat air pasang, lokasi bisa dimasuki dengan kapal kelotok biasa
dengan koordinat pembalakan liar di S 1.095344, 116.769254. “Yang
tinggal di kemp itu orang yang terlibat kriminal, hingga mereka bisa
berbahaya. Tempat itu tidak aman dimasuki tanpa polisi atau TNI.” Mereka
mengaku, hanya beternak ayam dan kerbau, atau bertanam pisang tetapi
kegiatan utama
illegal logging dan memperjualbelikan lahan.
Masalah serius juga terjadi di Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU),
yakni limbah tambang batubara. Banyak perusahaan kecil ingin membangun
pelabuhan sendiri. “Dampaknya cukup parah. Pesisir Teluk Balikpapan
makin rusak oleh terminal-terminal kecil. Misal, ada dua pelabuhan baru
dibangun di Sungai Semoi,” ucap Stan.
Tak hanya perusahaan kecil, terminal perusahan besar pun tak
mengelola lingkungan dengan baik, seperti PT Singlurus. Perusahaan ini
mengangkut batubara di sebelah kanan S. Sekambing. Tempat penumpukan
batubara mereka terlalu dekat dengan pinggir sungai. Akibatnya, limbah
dan debu batu bara terus meracuni Teluk Balikpapan.
Alih-alih memperbaiki kondisi ini, PT Singlurus malah memperluas
tempat penimbunan. Mereka menaikkan sebuah konveyor baru di Sungai
Sekambing, sebelumnya sudah ada satu unit. Penumpukan batu bara dengan
konveyor ini, katanya, sangat beracun bagi laut karena menghasilkan debu
sangat banyak.
Di batas Pesisir Teluk Balikpapan, Solok Puda termasuk kawasan masih
alami. PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) memulai membuka dan mengeruk
tanah di hutan mangrove di Solok Puda, sepanjang sisi kanan sungai,
sebagai tempat menumpuk kontainer pelabuhan peti kemas Kariangau.
Sekitar lima hektar telah ditimbun, antara lain, lahan mangrove sekitar
tiga hektar.
“PT Pelindo merusak sebagian dari hutan mangrove di Solok Puda secara
perlahan, beberapa hektar setiap beberapa bulan, hingga tidak disadari
para aktivis lingkungan.” Namun, lambat laun, kerusakan mulai terlihat.
Pada Desember 2012, perusahaan milik negara ini kembali membuka sekitar
tiga hingga lima hektar mangrove di hulu Solok Puda. “Saat itu, nelayan
protes.”
Stan mengatakan, PT Pelindo sebenarnya tidak perlu memperluas
pembukaan Solok Puda karena sudah membuka kawasan cukup luas. Dia
menyarankan, beberapa hektar hutan mangrove bakau yang baru dibuka harus
dibiarkan, meskipun sudah ditimbun tanah. Bertahap lahan itu ditanami
kembali. “Pelindo juga harus membangun dinding beton antara pelabuhan
dan semua rawa mangrove Solok Puda hingga tidak ada insiden serupa di
masa depan.”
Beranjak, ke Muara Tempadung. Di sana, ada PT Dermaga Kencana
Indonesia (DKI) dari Kancana Agri Ldt. Group tengah melanjutkan
pembangunan pabrik pengelolaan minyak sawit mentah (
crude palm oil/CPO).
Mereka membangun enam tangki besar, beberapa gudang dan satu pabrik.
“Para aktivis lingkungan protes selama dua tahun terhadap pembangunan di
daerah bernilai konservasi sangat tinggi ini,” katanya.
Awalnya, perusahaan merespon dan mulai bekerja sama dengan para
ilmuwan. Namun, kini jelas perusahaan tidak mampu mengurangi dampak
negatif terhadap lingkungan dan alam. “Mereka berhenti merespon
(masukan) para aktivis lingkungan.”
Teluk Balikpapan, salah satu rumah dari lima populasi terbesar untuk bekantan (
Nasalis larvatus).
Saat ini, masih ada sekitar 1.400 ekor, kemungkinan lima persen dari
populasi dunia. Bekantan tinggal di pohon mangrove, dan sangat
bergantung pada sumber makanan di hutan lahan kering. Jadi, mereka
sangat bergantung pada keberadaan koridor hutan.
Aktivitas perusahaan-perusahaan minyak sawit ini mengancam integritas
koridor-koridor hutan yang paling penting bagi bekantan. Mulai dari
pembangunan kilang minyak sawit hingga dampak jangka panjang yang
membawa kehancuran. Setidaknya ada empat terumbu karang unik di muara
Sungai Tempadung. Ia bergantung pada air payau dan air berlumpur dari
sungai. “Komposisi spesies ini berbeda dari terumbu karang lain di
teluk. Karang yang hidup pada keadaan ekstrim ini sangat rentan. Kondisi
memburuk dramatis sejak pembangunan pabrik Januari 2010.”
Sedimentasi dan kapal yang lalu lalang cepat menghancurkan terumbu
karang, bahkan sebelum kehidupan karang dapat dipelajari. Tanah banyak
hanyut dari lokasi pembangunan. Karang-karang pun mati karena tertutup
sedimen dengan tebal beberapa milimeter.
Masalah-masalah lingkungan yang muncul di sekitar Teluk Balikpapan. Grafis: Stanislav Lhota
Kehancuran Alam Kalimantan
Save Wildlife Conservation Fund menilai, kerusakan di Teluk
Balikpapan sebagai indikator awal kehancuran alam Kalimantan.
Undang-undang pemanfaatan lahan yang membingungkan menyebabkan
pengembangan daerah di lahan yang masuk klasifikasi hutan bernilai
konservasi tinggi.
Ada proyek Kawasan Industri Kariangau dengan rencana menelan
investasi US$2 miliar untuk bandara dan pelabuhan baru serta pengelolaan
tanaman untuk industri pertanian. Kalimantan Tengah pun, berencana
membuat lebih dari 1 juta hektar perkebunan sawit baru dalam dua tahun
mendatang.
Dari tetangga sebelah, Sarawak, Malaysia, juga punya rencana ambisius
melipatgandakan perkebunan sawit hingga 2 juta hektar tahun 2020.
Dengan data meragukan tentang deforestasi tercepat di Asia, hutan yang
tersisa di Sarawak akan menjadi lautan pohon sawit.
Lars Gorschlueter, Direktur Save Wildlife Conservation Fund, dalam
siaran pers mengatakan, tidak memperdebatkan hak-hak negara berkembang
memiliki kesempatan memasok permintaan global, berupa minyak nabati atau
bahan bakar nabati. “Yang kami tegaskan bisnis tidak bisa dilakukan
tanpa mempertimbangkan keberadaan satwa liar dan alam sebagai
habitatnya.” Menurut dia, masih banyak lahan kritis di Sarawak dan
Indonesia bisa untuk memperluas perkebunan mereka.
Menurut Gorschlueter, pengembangan perkebunan sawit di lahan kritis
memang memerlukan biaya lebih besar. Namun, harga keragamana hayati yang
mungkin hilang tak bisa diabaikan. “Bagaimana kita membiayai sebuah
kepunahan?”
Gorschlueter pun menantang Komisi Uni Eropa yang menyetujui skema
Roundtable on Sustainable Palm Oil (
RSPO )tentang sertifikasi bahan bakar nabati. Sebab, memungkinkan
penggunaan sawit dari anggota mereka, yang beoperasi dari kerja sama
dari non-RSPO dan bersertifikat RSPO.
Sebelumnya, Save Wildlife Conservation Fund fokus pada satwa liar
Afrika dan mendukung pertanian petani kecil di Afrika. “Saat ini akan
memperluas fokus ke Kalimantan dan mendukung kampanye akar rumput
melindungi keragaman hayati di sana.”
Kerusakan mangrove di Sungai Solok Puda oleh PT Pelindo. Foto: Stanislav Lhota
Pembangunan tangki-tangki timbun CPO oleh PT DKI di Muara Tempadung, makin mengancam ekosistem sekitar. Foto: Stanislav Lhota